Cangkir Teh Hijau

Bilik Sastra
Satu Persen
2 Mar 2021
cerpen_cangkir_teh_hijau
cerpen: cangkir teh hijau

Perempuan itu berhenti merangkai huruf di atas papan ketiknya. Sesuatu berhasil menerobos masuk ke dalam pikirannya sehingga ia kehilangan konsentrasi. Ia segera menjauh dari meja kerjanya, meninggalkan laptop berisi artikel yang masih setengah jadi. Tenggat waktunya tinggal beberapa jam lagi, namun pikirannya justru mengajaknya berkelana.

Perempuan itu menghela napas panjang sebelum menghirup secangkir teh hijau yang baru saja diseduhnya. Sebenarnya rasanya tidak enak, namun hanya itu yang tersedia di dapur apartemennya. Ia belum sempat berbelanja karena terlampau sibuk mengurus perilisan berita penting. Mimpinya menjadi jurnalis memang menjadi kenyataan, tapi menghidupi profesinya dengan sepenuh hati kadang membuatnya lupa mengurus diri.

Setiap kali merasa terganggu, perempuan itu selalu menyeduh minuman hangat. Teh, kopi, wedang jahe, apa pun tidak masalah. Selama kepulan asap hangatnya membantu menghilangkan pikiran yang mengganggu, ia akan menyeruput minuman hangatnya dengan penuh rasa syukur.

Ia tersenyum kecil ketika mendapati cangkirnya sudah kosong. Sekali lagi ia menghembuskan napas dengan kasar, sambil menengadah ke langit agar cangkir kosongnya tidak dipenuhi air matanya yang hampir tumpah. Perempuan itu mengatur napas dan mengerjapkan matanya, sebisa mungkin mencari cara agar tidak menangis. Ia sudah tidak memikirkan hal itu selama bertahun-tahun. Ia hampir berhasil melaluinya. Masa sekarang gagal lagi?

Tubuh perempuan itu mulai melemah. Getaran yang timbul akibat upayanya menahan tangis menguras banyak energi, sehingga untuk menopang tubuh pun terasa begitu berat. Pada akhirnya ia melempar cangkirnya asal dan menangis sambil memeluk lututnya. Tangisannya nyaris tidak terdengar. Ia terbiasa menyembunyikan kesedihannya, sehingga menangis dengan suara bukanlah kebiasaannya.

Seseorang dari masa lalu kembali dipertemukan dengannya. Siang tadi—ketika ia sedang istirahat makan siang seusai meliput berita—ia tidak sengaja bertatapan dengan seseorang yang menimbulkan luka hebat di kehidupannya. Sosok itu terlihat kurus, rambutnya berantakan bukan main, dan pakaian yang melekat pada tubuhnya sudah kumal. Ia tidak yakin laki-laki itu mengingat dirinya sebagaimana ia mengingatnya. Tentu saja, orang yang disakiti tidak akan pernah lupa bagaimana seseorang menyakitinya.

Ketika laki-laki itu berjalan mendekat ke arahnya, tubuh si perempuan seketika kaku. Potongan kejadian bertahun-tahun lalu terpampang nyata. Air matanya tumpah satu per satu. Namun sebelum si laki-laki mengatakan sesuatu kepadanya, salah satu rekan si perempuan mengajaknya kembali ke kantor karena urusan penting yang mendesak. Si perempuan kembali tersadar, buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangannya, dan kembali ke kantor seperti tidak ada yang terjadi.

Kesibukan selama di kantor berhasil mendistraksi gelombang takut yang menghampirinya. Namun ketika ia sedang sendirian di apartemennya, segala hal di masa lalu kembali menyerang bertubi-tubi sampai ia tidak dapat lagi menggunakan pekerjaan untuk membuatnya tetap sadar.

Di tengah kesunyian tangisannya, terdengar bunyi bel apartemen yang mengejutkannya. Ia ketakutan setengah mati. Tangannya bergetar semakin hebat dan ia pun jatuh terduduk. Kakinya benar-benar sudah tidak mampu lagi menopang. Ia yakin laki-laki itu ada di depan pintu apartemennya, bersiap untuk menarik dan menculiknya lagi seperti belasan tahun lalu.

Tangisan yang tadinya tidak bersuara, kini berubah menjadi raungan ketakutan. Ia berteriak minta tolong meski tidak ada satu orang pun yang mendengarnya. Ia meninggalkan ponselnya di meja kerja dan kini ia tidak tahu harus berbuat apa. Bukannya memikirkan solusi terbaik, adegan traumatis malah mengalir deras di kepalanya. Perempuan itu mulai memukul-mukul kepalanya dengan keras, memohon agar pikiran jahat itu segera meninggalkannya. Karena kalau tidak, mungkin ia tidak akan segan melompat dari balkon apartemennya.

Pintu apartemennya tiba-tiba terbuka dari luar. Seketika jiwanya seperti pergi meninggalkan tubuhnya. Ia melihat bayangan seseorang dan secara tiba-tiba, ia merasakan dua tangan kuat merengkuhnya dalam pelukan. Sentuhan ini bukan sentuhan laki-laki itu. Pelukan ini rasanya aman, nyaman, dan tidak mencekam. Perempuan itu lantas memeluk sosok yang belum diketahuinya dengan erat. Begitu erat sampai ruang untuk bernapas menjadi sangat sedikit.

“Gak usah ditahan lagi,” suara laki-laki terdengar, sehingga perempuan itu tahu bahwa yang merengkuhnya adalah temannya. “Gue tahu seberapa keras lo nahan nangis hari ini. Tumpahin aja. Gue temenin. Andin bentar lagi nyusul ke sini dan kami bakal nemenin lo sampai pagi.”

Tangis perempuan itu kembali pecah, namun bukan karena takut. Gelombang takut digantikan dengan gelombang lega dan entah sejak kapan ia merasa begitu tenang. Andin datang tidak lama kemudian sambil membawa beberapa kotak minuman hangat dalam kemasan. Ia meletakkan bawaannya di atas meja sebelum menghampiri temannya yang sedang membutuhkan kekuatan.

It’s okay to cry over something you thought you had healed from, Ra. Jangan nyalahin diri sendiri, nangis aja. Ada gue sama Raka.” ucap Andin sambil mengelus pelan punggung perempuan itu dengan penuh perhatian. Angin malam memang bertiup cukup kencang, tetapi pelukan kedua temannya mampu menghangatkan perempuan itu lebih dari yang diperkirakannya.

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.