Cara Mengurangi Insecure dan Overthinking ala Karen Horney

Kesehatan Mental
Ocky Jhon
8 Sep 2023

Pernah nggak lo ngerasa kalau di luar sana banyak orang yang jauh lebih sedih dan stres, dibandingkan sama diri lo? Dan ini ngebuat lo ngerasa kalau seharusnya lo tuh bahagia. Terus lo berusaha deh mikir hal-hal positif biar jadi bahagia.

Tapi pas lo ngelakuin itu, lo malah ngerasa diri lo lebih buruk.

Kalau lo pernah ngalamin, nggak apa-apa. Lo nggak sendirian. Makanya di artikel ini, gue bakal jelasin cara biar mindset kayak gitu bisa lo kurangin.

Kata "Seharusnya"

Terapis dari Amerika Serikat, Emma McAdams, sempat jelasin bahaya “shoulds” atau penggunaan kata “seharusnya” buat kondisi kita. Kata “seharusnya” itu punya beban ekspektasi yang kayak semua orang tuh wajib buat lakuin.

Nih contoh lainnya:

“Lo nggak seharusnya stres. Lo seharusnya bahagia.”

“Kalau lo cowok, lo nggak seharusnya nangis. Mental lo harus kuat kayak baja.”

“Cewek tuh nggak seharusnya marah-marah. Lo harus anggun dan sabar.”

Kata “harus” dan “seharusnya” ini seakan-akan ngediktein gimana kita seharusnya bertindak. Dan kalau lo gak jalanin sesuai dikte itu, diri lo tuh gagal.

Nah, masalah kenapa kita bisa punya kata “seharusnya” ini dijelasin lebih lanjut oleh Karen Horney, psikoanalisis terkenal dari Jerman. Horney nyusun pemahaman namanya “Tyranny of Shoulds”. atau kalau gue terjemahin, “Kezaliman dari kata Seharusnya”.

Karen Horney

Di teori itu, Horney cerita kalau manusia kita selalu punya dua buah diri. Diri satu adalah diri kita yang ideal, sosok yang pengen kita capai. Diri kedua adalah diri kita yang sebenarnya, lengkap dengan kelebihan dan kelemahan kita.

Diri yang ideal terdiri dari harapan, mimpi, tujuan, dan hal-hal lain biar kita bisa mencapai sosok kita seutuhnya. Sementara diri kita yang sebenarnya itu punya potensial dan kemampuan buat berkembang buat bisa mencapai diri yang ideal itu. Tapi, kalau orang nggak bisa bedain mana diri mereka yang ideal dan diri yang sebenarnya, mereka jadi rentan banget buat jatuh ke lubang kezaliman dari kata “seharusnya” tadi.

Dan inilah yang sering Horney temui di orang-orang yang punya kecenderungan buat overthinking dan insecure. Biasanya, mereka punya kecenderungan buat nge-set target tinggi dan nggak realistis, dan pas itu nggak tercapai: mereka ngerasa buruk sama diri mereka sendiri. Salah satunya adalah pake kata “seharusnya” tadi.

Perasaan buruk ini biasanya diperparah waktu mereka benar-benar ngerasa mereka nggak akan pernah mencapai diri ideal mereka. Akhirnya, mereka bakal ngaku kalau diri mereka yang sebenarnya ini emang sosok yang gagal, nggak berguna, dan ya, udah nggak ketolong aja.

Buat contoh, gue bakal pake cerita dari klien Karen Horney ya.

Biar gampang gue sebut si klien ini Adi. Adi punya temen namanya Beti, dan si Beti ini punya masalah pernikahan yang ribet banget sama suaminya. Si Adi ngerasa udah kenal banget sama Beti, suami Beti, dan bener-bener paham hubungan pernikahan mereka. Tapi, pas Adi ngerasa kalau dia nggak bisa bantu Beti, dia ngerasa gagal, bersalah, dan nggak berguna. Adi ngerasa dengan pengetahuan yang dia punya, seharusnya Adi bisa bantu Beti buat nentuin apakah pernikahan Beti itu patut dipertahankan atau enggak.

Dari contoh tadi, kita bisa lihat sosok diri ideal dan sosok diri sebenarnya si Adi. Sosok diri ideal Adi adalah bisa bantu nyelesein masalah pernikahan Beti. Padahal nyatanya, Adi nggak mampu buat bantu sampai tahap itu. Pas ideal Adi dirasa nggak tercapai, Adi ngerasa gagal.

Sampai sini gue harap lo paham soal kenapa si kata “Seharusnya” bisa membuat lo jadi overthinking dan rentan insecure ya. Mungkin pertanyaan besar sekarang adalah: apa yang bisa lo lakukan kalau lo punya kebiasaan ini?

Lo bisa coba pahami kata “seharusnya” itu.

“Lo nggak boleh sedih. Lo seharusnya lo bahagia.”

Kalau pikiran itu muncul, coba pause dan atur diri. Terus tanyain ini ke diri lo: Kenapa lo ngerasa lo harus bahagia?

Kita sering banget bergantung sama kata “Seharusnya” sampai kita lupa apa yang sebenarnya kita inginkan. Jadi lo bisa coba gali apa yang sebenarnya lo mau. Latihan ini emang nggak gampang dan wajar aja lo jadinya butuh bantuan buat ngelolanya. Konsultasi bareng Mentor Satu Persen adalah solusi yang bisa cocok buat lo.

Di sesi bareng Mentor, lo bakal didengarkan dan dibimbing buat nyari tau kenapa kata seharusnya ini keluar melulu dari diri lo. Dari situ, Mentor juga bakal ngasih lo beberapa saran direktif dan mungkin, worksheet biar lo bisa latihan secara mandiri walaupun sesi Mentoring udah selesai.

Nah, tapi nih kalau ternyata kata seharusnya ini muncul karena ada masalah sama masa lalu dan trauma yang membuat lo ngerasa stuck, ada layanan lain di satupersen.net yang mungkin cocok sama lo, kayak Konseling bareng Psikolog Satu Persen.

Kedua, mulai ubah kata “seharusnya” jadi kata “gue mau..” atau “gue bisa aja..” buat ingetin diri lo kalau lo ada pilihan buat gimana caranya bereaksi.

Misalnya, daripada “gue seharusnya nggak sedih, gue seharusnya bahagia”; lo bisa ubah jadi “gue mau nangis aja” atau “gue bisa aja sebenernya nyari video anabul di youtube biar gue seneng lagi”.

Kata-kata tadi secara gak langsung juga ngasih lo action yang bisa lo lakukan, gak cuma jadi bahan overthinking aja di kepala lo. Jadi, lo akhirnya ngerasa punya kontrol terhadap diri lo secara penuh. Beda sama kata “seharusnya” yang ngebuat lo ngerasa gapunya kontrol sama apa yang bisa lo lakukan.

Dua contoh cara tadi hanya segelintir kecil cara yang bisa gue kasih karena nyatanya, ada berbagai macam cara lain yang bisa lo lakukan dan pastinya sesuai sama diri lo. Makanya tadi gue ngomongin soal Mentor Satu Persen yang bisa ngarahin lo buat nerapin cara terbaik biar lo bisa juga menerapkan mindset yang ngebuat lo sehat mental.

Oke, akhir kata semoga Artikel ini bisa ngebantu lo buat ngelola diri lebih sehat, gue Jhon dari Satu Persen, thanks.

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.