Hikikomori: Krisis Kesehatan Mental Jepang

Artikel Terbaik
Ocky Jhon
11 Sep 2023

Apa yang ada di pikiran lo ketika mendengar kata Jepang? Negara yang sangat menghormati hak terhadap privasi, punya satu ciri khas yang unik dan kontradiktif. Orang Jepang tidak terbiasa mengunci pintu kamar di rumahnya. Bahkan beberapa pintu standar di Jepang didesain tanpa fitur untuk mengunci pintu.

Kok bisa sih ada orang yang pengen pintu kamarnya gak bisa dikunci? Well, setelah gue riset ternyata ada salah satu alasan mengejutkan di balik nggak bisa dikuncinya pintu kamar rumah di Jepang: untuk mencegah Hikikomori, krisis kesehatan mental yang menghantui banyak masyarakat Jepang.

Di tahun 2016, ditemukan sekitar 540rb orang yang hikikomori. Kondisi ini semakin parah pasca pandemi Covid-19, yang mana angka hikikomori melonjak sampai 1,5 juta orang. Alias, ada peningkatan sekitar 150% sejak tahun 2016!

Fenomena ini akhirnya bikin gue bertanya-tanya: Sebenernya hikikomori di Jepang itu separah apa sih? Kenapa banyak orang Jepang yang memilih buat mengisolasi diri selama bertahun-tahun? Apa yang salah?

Apa Itu Hikikomori?

Kita coba mulai dari pertanyaan mendasar dulu: Sebenernya Hikikomori itu apaan sih?

Secara bahasa Hikikomori berarti 'menyendiri', 'isolasi diri', atau 'hidup terbatas'. Hikikomori biasa digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang memilih mengisolasi diri dari dunia luar. Mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka di dalam ruangan (biasanya kamar), enam bulan atau lebih, dan memutuskan hubungan sosial mereka dengan orang lain.

Keadaan ini gak cuma melibatkan isolasi fisik, tapi juga penarikan psikologis ekstrem dari dunia sosial. Artinya, mereka menghindari tempat-tempat di mana interaksi sosial aktif terjadi, kayak sekolah atau tempat kerja. Meski beberapa dari mereka masih bisa melakukan beberapa aktivitas di luar, tapi itu interaksi yang sangat-sangat terbatas.

Hikikomori pertama kali mendapatkan perhatian pada tahun 1990-an, ketika Jepang mengalami 'zaman es' ekonomi, yang membuat banyak anak muda kesulitan mencapai tujuan mereka. Banyak yang memilih untuk menyembunyikan rasa malu mereka dengan menarik diri dari masyarakat. Bahkan beberapa di antara mereka gak pernah kembali ke masyarakat lagi.

Istilah Hikikomori muncul tahun 1998 oleh seorang psikiater Jepang, Profesor Tamaki Saito. Dia melihat banyak anak muda yang tidak memenuhi kriteria diagnosis kesehatan mental, tapi tetap dalam keadaan penarikan diri yang ekstrem dan memprihatinkan. Hikikomori sekarang dilihat sebagai fenomena kesehatan mental sosiokultural, bukan penyakit mental yang jelas.

Hikikomori bukan cuma mempengaruhi orang yang mengalaminya, tapi juga keluarganya. Orang tua di Jepang biasanya menghabiskan tahun-tahun mereka untuk memastikan kebutuhan dasar anak mereka terpenuhi. Ibaratnya, keluarga mereka terlalu malu buat minta bantuan eksternal, dan akhirnya mau gak mau nanggung beban itu sendirian biar melindungi citra keluarga.

Yang jadi pertanyaan adalah: Emang ada masalah apa di Jepang sampe banyak masyarakatnya yang malu dan gak mau keluar rumah? Bukannya Jepang itu adalah negara maju?

Ada Masalah Apa dengan Jepang?

Setelah gue riset dan mempelajari berbagai sumber, gue menemukan ada 3 akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya hikikomori; 1) Tekanan akademik & pekerjaan, 2) Norma sosial, 3) Pola asuh & status ekonomi keluarga.

Kita coba bahas satu-satu ya.

1. Tekanan Akademik & Pekerjaan

Gue mau mulai dengan cerita tentang tekanan akademik di Jepang. Di sana, sistem pendidikan sangat kompetitif dan kaku. Prestasi akademik seringkali dikaitkan dengan kesuksesan karier masa depan. Jadi, kalau lo gagal di sekolah, kemungkinan besar karier lo bakal gagal juga, dan itu dianggap aib buat diri sendiri dan keluarga.

Terus, di Jepang juga ada yang namanya "shushoku katsudo", semacam job hunting yang super kompetitif. Orang yang berhasil melewati seleksi ini, bakal punya jenjang karier yang nyaman dan terjamin masa depannya.

Tapi, kalau ada orang yang gagal, mereka terpaksa harus kerja di profesi dengan gaji rendah tanpa ada jaminan keamanan kerjaan. Ibaratnya, mereka bisa aja di-PHK kapanpun tanpa persiapan apapun. Orang-orang gagal ini disebut “lost-generation”, orang dewasa yang miskin dan nggak pernah punya karier stabil.

2. Norma Sosial

Di Jepang, mereka sangat menjunjung tinggi budaya konformitas dan kolektivitas. Artinya, semua masyarakat Jepang semacam dituntut buat bisa mengikuti standar sosial masyarakat. Kalau nggak ngikutin, ya orang itu dianggap aneh dan gagal. Mulai dari cara berpakaian, gaya rambut, tingkah laku, cara berpikir, dan cara hidup, semuanya harus ngikutin standar sosial yang berlaku.

Salah satu bentuk dari budaya konformitas di Jepang adalah Honne dan Tatemae.  'Honne' itu merujuk ke jati diri seseorang, sementara 'Tatemae' adalah topeng publik yang mereka tunjukkan ke dunia luar. Budaya ini seringkali jadi sumber konflik batin dan bikin banyak masyarakatnya overwhelmed cuy. Karena ya, mereka dipaksa buat gak jadi diri sendiri demi menuhin standar sosial.

Di lingkungan kayak gini, beberapa Hikikomori mungkin merasa stres berat dan memilih buat mundur dari dunia karena mereka merasa nggak mampu memenuhi peran sosial yang diharapkan masyarakat, atau malah merasa nggak bisa mengekspresikan jati diri mereka.

3. Pola Asuh & Status Ekonomi Keluarga

Kalau misalnya lo mikir Hikikomori itu terjadi di masyarakat miskin dan kurang teredukasi, lo salah cuy. Faktanya, Hikikomori sering terjadi di keluarga kelas menengah yang orang tuanya mampu mendukung anak dewasa mereka tanpa batas waktu.

Kenapa orang-orang miskin jarang jadi hikikomori? Karena ya mereka mau gak mau harus kerja di luar buat bisa hidup. Jadi prioritas mereka saat itu adalah gimana caranya bisa survive, punya tempat tinggal, gak kelaparan, dsb. Jarang pikiran-pikiran advance buat punya bisnis, kuliah tinggi, kerja bagus, dsb karena prioritas mereka adalah survive.

Nah, orang yang tumbuh di keluarga middle biasanya dibebani sama berbagai ekspektasi tinggi yang lebih dari sekedar survive kayak di akademik dan karier. Apa yang terjadi ketika mereka kesulitan menuhin ekspektasi itu? Ya stres berat dan menyerah dengan mengurung diri di kamar.

Yang jadi pertanyaan adalah: kenapa orang tuanya bisa ngewajarin anak yang ngurung diri di kamar? Karena biasanya, orang tua yang anaknya hikikomori cenderung punya pola asuh yang over protective, yang mana kalau bahasa Jepangnya disebut "Amae" atau pola asuh lembut. Atau kalau bahasa Indonesia nya manja lah.

Kondisi ini bisa jadi masalah serius karena di Jepang itu sampe ada istilah “80-50”. 80-50 tuh maksudnya orang tua yang udah berusia sekitar 80 tahun, harus menanggung beban anaknya yang berusia 50 tahun. Lo kebayang ga? Orang yang harusnya udah pensiun, mau gak mau harus terus kerja karena anaknya belum bisa mandiri.

Nah, itu tadi 3 akar masalah kenapa banyak masyarakat Jepang yang menjadi Hikikomori. Gimana menurut lo?

Belajar dari Jepang

Salah satu hal penting yang bisa kita pelajari dari kasus hikikomori di Jepang adalah tentang pentingnya nge-set ekspektasi, terutama ke diri sendiri. Apakah salah ketika kita nge-set ekspektasi tinggi ke diri sendiri? Nggak selalu, karena ekspektasi tinggi bisa ngedorong kita buat terus improve. Tapi kalau udah terlalu berlebihan, kita bakal kesulitan menerima kegagalan, which gagal itu sebenernya manusiawi.

That’s why, kita harus belajar yang namanya self-compassion. Self-compassion itu simpelnya tentang gimana kita menyayangi diri sendiri ketika kita merasa kurang, gagal, atau menderita. Kita nge-treat diri kita sendiri dengan baik, pengertian, dan suportif sebagaimana kita memperlakukan orang lain pas mereka lagi nge-down.

Ada 3 aspek self-compassion yang bisa kita pelajari:

  1. Self-kindness: Kita berusaha buat pengertian dan sabar ke diri sendiri daripada terus-terusan mengkritik.
  2. Common humanity: Menyadari kalau semua manusia itu gak ada yang sempurna dan pasti pernah melakukan kesalahan.
  3. Mindfulness: Berusaha menerima dan merasakan semua emosi yang kita rasain, tanpa banyak mempertanyakan kenapa kita merasakan emosi itu.

Selain self-compassion, gue bersyukur banget Indonesia nggak punya budaya konformitas dan standar sosial yang se-strict itu. Meskipun ada beberapa daerah yang kebudayaannya masih strict, tapi at least gak se-strict Jepang yang sampe bikin masyarakatnya stres berat dan kehilangan diri sendiri.

Tapi, apakah standar sosial itu selalu buruk? Nggak juga, karena ya standar sosial itu hal wajar dalam bermasyarakat. Kalau di kurikulum life skills Satu Persen, ini masuk ke level 1; Ethics, Manner, Citizenship, & Fashion. Kita tetep butuh standar etika dan norma sosial supaya kehidupan masyarakat bisa lebih harmonis.

Tapi lo juga harus inget: jangan sampai lo kehilangan diri sendiri karena terlalu ngikutin standar sosial. Ibaratnya, kalau lo ngerasa standar sosial ini ngebantu, ya lakuin aja. Tapi, kalau standar sosial udah ngeganggu hidup, lo gak harus ngelakuin semua standar sosial kok. Cukup lakuin semampu lo dan yang menurut lo penting aja.

Terakhir, kalau lo ngerasa masalah ini udah ngeganggu kesehatan mental, please jangan ragu buat mengakui kalau lo lagi ada masalah. Itu step pertama yang perlu lo lakuin buat pulih. Setelah itu, jangan ragu juga buat minta bantuan profesional kayak psikolog atau mentor di Life Companion, sister company-nya Satu Persen.

Tenang aja, kalau lo minta bantuan ke profesional, mereka bakal ngebantu lo buat menyelesaikan masalah lo. Mereka bakal jadi pendengar yang baik, lo gak akan di judge, dan mungkin lo juga bakal dikasih treatment khusus kayak terapi untuk membantu pemulihan lo.

That’s all for now, semoga artikel ini bisa bermanfaat. Lo bisa cek website kita juga ya di satupersen.net kalau lo pengen dapet info lebih lanjut terkait layanan mentoring atau konseling.

Akhir kata, Gue Jhon dari Satu Persen, thanks.

References:

1. Hikikomori: Adolescence Without End

https://books.google.co.id/books/about/Hikikomori.html?id=xUmsNAEACAAJ&redir_esc=y

2. Hikikomori: understanding the people who choose to live in extreme isolation

https://theconversation.com/hikikomori-understanding-the-people-who-choose-to-live-in-extreme-isolation-148482

3. Japan was already grappling with isolation and loneliness. The pandemic made it worse

https://edition.cnn.com/2023/04/06/asia/japan-hikikomori-study-covid-intl-hnk/index.html

4. “Hikikomori”: Social Recluses in the Shadows of an Aging Japan

https://www.nippon.com/en/currents/d00332/

5. Japan and the Lost Generation’s Looming Pension Crisis

https://www.nippon.com/en/in-depth/a08702/#:~:text=In%20Japan%2C%20the%20term%20Lost,annual%20recruitment%20of%20permanent%20employees.

6. Honne and tatemae

https://en.wikipedia.org/wiki/Honne_and_tatemae

7. Why Japan’s ‘shūkatsu’ job-seeking system is changing

https://www.bbc.com/worklife/article/20190731-why-japans-shkatsu-is-disappearing-for-japanese-youth

8. The '8050 problem' - 'hikikomori' people entering 50s as parents on whom they rely enter their 80s.

https://japantoday.com/category/features/kuchikomi/the-8050-problem

9. What is Amae?

https://dictionary.apa.org/amae

10. What Does Self-Compassion Really Mean?

https://hbr.org/2022/12/what-does-self-compassion-really-mean

11. A wide variety of Japanese house doors

https://www.3darchidesigner.com/archidesignerjp/the-japanese-home/jp-home_008/#:~:text=Most%20of%20bed%20room%20doors,is%20necessary%20among%20family%20members

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.